SUBANG MASA PRA KEMERDEKAAN



Masa Pengaruh Barat
Berdasarkan fakta sejarah setelah kerajaan Sunda runtuh oleh pasukan Banten di bawah kepemimpinan Maulana Yusuf, wilayah kerajaan Sunda atau Tatar Sunda beralih ke Cirebon, Banten, Galuh, dan Sumedanglarang. Pengaruh barat mulai sampai ke kepulauan Indonesia khususnya Tatar Sunda dengan datangnya bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1512 diikuti dengan berdirinya VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Batavia tahun 1602 .
Pengaruh Barat di wilayah Subang mulai terdengar mulai tahun 1620, pada saat Sumedanglarang berada di bawah pengaruh Mataram. Pada tahun 1628-1629 Sultan Agung mengerahkan pasukannya untuk mengusir VOC dari Batavia dengan melibatkan penduduk Priangan termasuk penduduk wilayah Subang saat itu untuk ikut dalam peperangan (Disparbud Provinsi Jawa Barat, 2011:138). Pasukan Mataram yang hendak menyerang Batavia bertolak dengan menggunakan kapal dari pelabuhan Tegal menyusuri pantai utara Pulau Jawa dan berlabuh di Muara Sungai Cipunagara, kemudian meneruskan perjalanan darat melalui Pamanukan-Ciasem-Karawang menuju Batavia. Penyerangan pasukan Mataram berakhir dengan kekalahan dikarenakan persenjataan VOC lebih kuat, faktor lain kekalahan pasukan Mataram disebabkan kekurangan bahan makanan sehingga  mengalami kelaparan (Pemerintahan Kabupaten Subang, 2007:  ).
Pada waktu kekalahan dialami oleh pasukan Mataram sebagian besar dari mereka enggan kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang sekarang, untuk menghilangkan identitas mereka panji kebesaran Mataram dikuburkan disuatu tempat yang diberi nama Pusaka Ratu. Di museum Subang terdapat salah satu koleksi berupa senjata keris merupakan tinggalan pasukan Mataram yang ditemukan di Kecamatan Pusakanagara tidak jauh dari Muara Sungai Cipunagara tempat berlabuhnya pasukan Mataram.  
Kekuasaan Mataram atas Priangan berakhir dengan adanya perjanjian pada tanggal 19-20 Oktober 1677 dan 5 Oktober 1705 antara Mataram dengan VOC. Isi dari perjanjian yaitu Mataram menyerahkan wilayah Priangan Timur, Barat, dan Tengah kepada VOC (Herlina et all, 2011:18). Sejak awal abad ke-18, wilayah Tatar Sunda berada di bawah kekuasaan VOC meliputi wilayah Subang sekarang.
Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC mengalami kemunduran akibat korupsi yang merajalela, kongsi dagang tersebut dibubarkan selanjutnya segala tanggung jawab VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda mengangkat seorang Gubernur Jenderal pertama yang berkuasa di Hindia Belanda yaitu Gubernur Jenderal H.W. Deandels (1808-1811) (Herlina et all, 2011:18). Pada bulan Mei 1811 H.W. Deandels digantikan oleh gubernur jenderal yang baru yaitu Jan Willem Jansens, setelah pengangkatan Jansens beberapa bulan kemudian diminta untuk menandatangani kapitulasi sebagai akibat dari kekalahan Belanda atas Inggris, tanggal 29 Agustus 1811 Inggris memproklamirkan kekuasaannya di Hindia Belanda dengan mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur yang baru.
Di bawah kekuasaan Inggris pemerintah mengatur dalam konstitusi bahwa Pulau Jawa dibagi atas 16 keresidenan untuk memudahkan dalam menjalankan roda pemerintahan, pada waktu itu wilayah Subang termasuk wilayah administrasi Batavia dan Karawang (The Batavia Regencies anda Karawang), batas daerah Karawang saat itu antara sungai Citarum dan sungai Cimanuk. Wilayah Subang terdiri dari lima distrik yaitu Distrik Pamanukan, Distrik Ciasem, Distrik Subang, Distrik Sagalaherang, dan Distrik Batu Sirap.


Pada awal tahun 1812 terjadi krisis keuangan yang dihadapi perbendaharaan kolonial, sehingga Gubernur Raffles melakukan keputusan untuk menjual sebagian tanah-tanah kepada pihak swasta, khusus untuk wilayah residen Karawang dibagi menjadi 4 wilayah (persil), Pamanukan dan Ciasem termasuk ke wilayah 3 dan 4. Pada tanggal 25 Januari 1813 wilayah Ciasem dibeli oleh J. Sharpnel sedangkan wilayah Pamanukan dibeli oleh Muntinghe, beberapa tahun kemudian Muntinghe menjual wilayah Pamanukan ke J. Sharpnel dan P.H. Skelton, setelah meninggalnya J. Sharpnel dan P.H. Skelton wilayah yang selanjutnya dikenal dengan Pamanoekan and Tjiasem Lands (P & T Lands) dibeli oleh P.W. Hofland bersaudara yang berkewarganegaraan Belanda pada tahun 1840 (Disparbud Provinsi Jawa Barat, 2011:150).
Pada tahun 1858 Peter wellem Hofland membeli saham milik saudara-saudaranya, sehingga mulai saat itu wilayah P & T Land dimiliki sendiri oleh Hofland, dibawah kepemimpinannya P & T lands mengalami perkembangan pesat, tanah yang asalnya tidak produktif menjadi tanah yang menguntungkan bagi pemiliknya, dalam pengelolaan tanah dan perkebunan Hofland mengangkat orang pribumi menjadi Demang, dalam menjalankan tugasnya para demang dibantu oleh asisten demang, patih, mantra, upesir umbul, upas, dan jaksa sebagai penegas hokum (Disparbud Provinsi Jawa Barat, 2011:151).
Wilayah P & T land terbagi atas delapan kademangan yaitu :
1.      Kademangan Batu Sirap di Batu Sirap yang kemudian kedudukan demang pindah ke Cisalak.
2.      Kademangan Sagalaherang di Sagalaherang.
3.      Kademangan Ciherang
4.      Kademangan Pagaden
5.      Kademangan Pamanukan
6.      Kademangan Ciasem
7.      Kademangan Kalijati
8.      Kademangan Purwadadi
Di bawah kepemimpinan P.W. Hofland wilayah P&T Land dan sekitarnya berkembang menjadi suatu tempat ramai, yang kemudian sekarang ini dikenal dengan nama Kota Subang, tempat tersebut menjadi pusat tanah partikulir P&T Land . Hofland banyak mendirikan bangunan untuk kepentingan administrasi perkebunan pemukiman, dan hiburan bagi para petinggi dan karyawan P&T land.
  
 Ditinjau dari segi penggunaan tanah, P&T Land dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1.      Tanah yang secara tidak langsung dikelola oleh pemilik tanah (Hofland), tetapi tanah tersebut dikelola oleh para demang dan bertanggung jawab untuk memberikan cukai kepada pemilik tanah hasil pungutan dari penduduk yang menempati tanah berupa sawah, ladang, dan perkampungan penduduk.
2.      Tanah yang langsung dikelola oleh pemilik tanah dalam bentuk perkebunan, pengelolaan tanah dilakukan oleh seorang administratur yang bertanggung jawab kepada pemilik tanah, perkebunan ini mengelola tanaman untuk di ekspor.
Setelah mengalami perkembangan pesat pada tahun 1872 Peter Wellem Hofland meninggal dunia dan disemayamkan di pemakaman wilayah Subang. Untuk mengabadikan keberhasilan Hofland, putera-puteranya yang meneruskan pengelolaan P&T Land membuat patung yang terbuat dari perunggu, patung tersebut sekarang menjadi koleksi museum subang. Selama 14 tahun putera-putera Hofland meneruskan kiprahnya namun tidak mendapatkan kemajuan seperti halnya pengelolaan dilakukan oleh Hofland. Sehingga pada tahun 1886 P&T Land status kepemilikan menjadi Perseroan Terbatas dengan nama Maatscha Exploitatie der Pamanoekan en Tjiasem Landen, sebagai pemegang saham terbesar dari perseroan terbatas ini adalah Landbouw Company, suatu perusahaan perkebunan yang disponsori oleh Lands Handelsbank (Disparbud Provinsi Jawa Barat, 2011:152).

Masa Pergerakan Nasional
Nasioanalisme yang berkembang di Asia, khususnya di Nusantara muncul dikarenakan adanya reaksi terhadap imperialis. Pada tanggal 20 Mei 1908 lahir organisasi Budi Oetomo, namun organisasi ini tidak dapat berkembang luas, begitu pula di daerah Subang. Kemudian setelah lahirnya Budi Oetomo lahir pula organisasi Serikat Islam (SI) yang dibentuk pada tahun 1911, organisasi ini mudah diterima oleh kalangan rakyat karena sebagian besar mempunyai latar belakang agama Islam dan persamaan nasib dalam penderitaan yang diakibatkan tekanan penjajahan Belanda.
Pergerakan politik di Nusantara melalui organisasi mendapatkan rintangan berat dari pemerintah Belanda, berbeda dengan di wilayah Subang, Subang menjadi tempat pelarian tokoh-tokoh politik. Hal ini dikarenakan Subang merupakan wilayah P&T Land milik swasta, sehingga pemilik tanah kurang peduli terhadap masalah-masalah politik selama tidak merugikan perusahaan.
Pada tahun 1928 berdirilah Paguyuban Pasundan yang diprakarsai oleh Darmodihardjo dan sekretarisnya Odeng Djajawisastra. Tahun 1930 kepengurusan Paguyuban Pasundan ini mengalami perubahan dari Darmodihardjo kepada Hasan Manasik, kemudian kepada O. Soewangsa dan terakhir kepada Tohari (Disparbud Provinsi Jawa Barat, 2011:138).
Pergerakan nasional di wilayah Subang, selain bidang politik di bidang pendidikanpun sejak tahun 1900 berdiri sekolah yang bernama ELS (Europeesche School) dan Sekolah Rakyat 4 tahun, ELS hanya menerima siswa keturunan Eropa, dalam kegiatan pendidikannya menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sedangkan Sekolah Rakyat 4 tahun  menerima siswa yang berasal dari golongan bangsawan, seperti putera-putera demang dan orang-orang kaya yang mempunyai pengahasilan tertentu. Sekolah ELS dan Sekolah Rakyat didirikan oleh pemilik tanah perkebunan P&T land,  lulusan dari sekolah ini dimanfaatkan guna memenuhi kekurangan sumber daya manusia di perusahaan perkebunan (Pemerintah Subang, 2007:48)
Dalam usaha mengembangkan pendidikan dan pencerdasan masyarakat kalangan bawah di wilayah Subang, pada tahun 1919 muncul tokoh Islam yaitu K.H. Muhyidin sebagai pelopor dalam mendirikan pesantren di daerah Subang Selatan, pesantren ini lebih dikenal dengan nama Pagelaran, pendirian pesantren Pagelaran merupakan titik tolak kebangkitan intelektual yang berlandaskan keIslaman dan pengembangan kesadaran nasional di wilayah Subang.
Sejak abad ke-18 wilayah Subang merupakan wilayah perkebunan swasta, hal ini sangat mempengaruhi perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat saat itu, masyarakat diperlakukan sebagai buruh yang harus taat kepada pemilik tanah, disamping itu masyarakat juga harus taat kepada pemerintahan Belanda (Pemerintah Subang, 2007:50), munculah status masyarakat yang diklasifikasikan dalam kehidupan sosial saat itu diantaranya :
1.      Tuan tanah sebagai pemilik perusahaan swasta.
2.      Orang-orang Eropa staf perusahaan
3.      Menak dan keturunan bangsawan Bumi Putera, atau bangsawan Bumi Putera yang dimenakan oleh penguasa P&T Land.
4.      Keturuna timur asing (Cina)
5.      Buruh Bumi Putera
6.      Penduduk (bukan buruh).


Masa Pendudukan Jepang
Peperangan di Asia Pasifik dimulai setelah penyerangan tentara Jepang terhadap pangkalan militer Amerika di Pearl Harbour Hawai, Penyerangan ini merupakan awal munculnya kebijakan Presiden Amerika Serikat yaitu Franklin Delano Roosevelt menyatakan Amerika dalam keadaan perang melawan Jepang dan melindungi kepulauan di wilayah Asia Tenggara (Hindia Belanda), pernyataan tersebut disampaikan pada tanggal 6 Januari 1942  dalam kongres di Amerika, pernyataanya sebagai berikut “Yes we are fighting on the same with indomitable Dutch” (Bijkerk, 1988:155). Begitu pula Perdana Menteri Inggris W. Churcill mengeluarkan pernyataan akan melakukan perlindungan terhadap Hindia Belanda dengan mendirikan persekutuan antara ke empat negara yaitu Amerika-Belanda-Inggris-Australia dengan istilah ABDA (American-British-Dutch-Australian), Pulau Jawa sebagai Markas besarnya, pernyataan tersebut disampaikan pada “Arcadia Conference” di Washington.
Jepang bergerak cepat mulai tanggal 8 Pebruari 1942 melakukan penyerangan di perairan Singapura dan Filipina, pasukan sekutu (ABDA) dapat dipukul mundur sehingga pasukan Jepang mendaratkan pasukannya di kepulauan Jawa, pendaratan tersebut dilakukan dibeberapa tempat yaitu Merak, Teluk Banten, Eretan Timur, dan Kranggan. Pendaratan pasukan Jepang di Eretan Timur dipimpin oleh Kolonel Shoji untuk meneruskan penyerangan darat terhadap Lapangan Terbang Kalijati Subang.
Pada tanggal 1 Maret 1942 pasukan Kolonel Shoji terus bergerak menuju Subang dan Kalijati menggunakan tank-tank ringan, truk dan sepeda-sepeda, pasukan Jepang hanya mendapatkan perlawanan kecil dari tentara KNIL (Koninklijk Netherlandsch Indische Leger) , akhirnya pasukan Jepang dibawah pimpinan Kolonel Shoji dapat melumpuhkan lapangan terbang Kalijati. penguasaan Kalijati merupakan kemenangan besar bagi Jepang karena jarak 50 kilo meter ke markas besar dan pusat pemerintahan Hindia Belanda di Bandung (Disparbud Provinsi Jawa Barat, 2011:156).
Pemerintah Hindia Belanda semakin terpojok  atas pendudukan Kalijati oleh Jepang, pemerintah meminta tindakan segera untuk mengerahkan seluruh kekuatan tempur di Bandung untuk merebut kembali Kalijati. Namun hal itu gagal karena tank-tank pasukan Hindia Belanda sangat terbuka bagi bom-bom pesawat tempur Jepang, sedangkan pasukan udara milik Hindia belanda tidak bisa melakukan balasan karena kekurangan pesawat tempur, sehingga mengakibatkan pasukan KNIL mundur ke wilayah selatan Subang (Jalancagak-Ciater-Lembang).
Tanggal 5 Maret 1942, pusat pertahanan strategis Jawa di dataran tinggi priangan yang relatif lebih aman mulai terancam oleh pasukan Kolonel Shoji yang terus maju menyerbu benteng Ciater Pass dan benteng pertahanan Lembang. Pada tanggal 6 Maret 1942 tentara KNIL (Koninklijk Netherlandsch Indische Leger) menyerah dalam mempertahankan benteng di dataran tinggi priangan, waktu berjalan terus tentara-tentara pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan putus asa bertempur untuk mempertahankan nyawa, akhirnya Jenderal Pesman memutuskan untuk melaksanakan perintah panglima Ter Porten untuk memulai perundingan.
Hari Minggu 8 Maret 1942 merupakan akhir kekuasaan dengan seluruh nilai-nilai eksistensinya yang mempunyai arti nasional dan internasional, Imperium Belanda padam secara perlahan. Melalui perundingan yang dilaksanakan pada pukul 14:00 waktu setempat, bertempat di Kalijati. Pada pertemuan tersebut dihadiri dari pihak Belanda yaitu Gubernur Jenderal Tjarda Van Starkenborg dan Panglima tertinggi tentara Belanda Jenderal Hien Ter Poorten, sedangkan dari pihak Jepang dihadiri oleh Panglima tentara Jepang Letnan Jenderal Imamura. Perundingan tersebut menghasilkan keputusan penyerahan tanpa syarat pihak Belanda kepada Jepang dengan menandatangani naskah yang sudah disediakan oleh pihak Jepang (Bijkerk, 1988:311).

Sejak awal pendudukannya di Nusantara, Jepang memberi perhatian khusus terhadap wilayah Subang. Perhatian ini dikarenakan potensi wilayah Subang yang sangat besar untuk kepentingan persediaan mengahadapi peperangan Asia Timur raya. Selain faktor Kalijati yang dijadikan pusat pertahanan udara , pesawahan di daerah Subang sangat luas sehingga menjadi pusat perbekalan dalam mengahadapi peperangan, sedangkan wilayah perkebunan yang secara tidak langsung mendukung persediaan perang tidak diperhatikan, seperti halnya perkebunan teh menjadi tidak terurus. Jepang memprioritaskan penanaman Karet, Kina, Kalila, Mantana sebagai pendukung persenjataan dalam peperangan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar