Pada saat zaman pleistosen, daratan Asia menyatu
termasuk wilayah Indonesia disebabkan suhu yang sangat dingin, sehingga es dari
kutub meluas menutupi daratan Asia, Eropa, Afrika, Australia, dan Amerika
begitu pula wilayah Subang, zaman ini
disebut dengan zaman glacial, sedangkan
pada saat suhu panas maka es dari kutub akan mencair begitupula daratan yang
tertutup akan mencair yang mengakibatkan air laut menjadi naik, zaman ini
disebut zaman interglacial.
Pada zaman pleistosen ini banyak hewan-hewan yang berkeliaran dari daratan
Asia ke wilayah Subang, hewan tersebut hidup di bagian selatan wilayah Subang,
yaitu di sekitar Ranggawulung, Curugcina, Cisaar Cibogo (Disparbud Provinsi
Jawa Barat, 2011:136). Sedangkan untuk bagian utara wilayah Subang merupakan
lautan, kemudian terjadinya dataran rendah di wilayah Subang disebabkan adanya
proses pengendapan aluvial dan aliran
lahar dari gunung Sunda atau gunung Tangkuban Parahu.
Adanya kehidupan
manusia purba di wilayah Subang didasarkan pada temuan pada masa mesolitikum,
tinggalan arkeologi pada masa berburu dan meramu makanan di Tatar Sunda umumnya
ditemukan di Zona pegunungan selatan, antara lain Leuwiliang (Bogor), Jampang
kulon (Sukabumi), Parigi dan Karangtunggal (Tasikmalaya), Tambaksari dan
Citapen (Ciamis) (Herlina et al, 151). Pada masa ini di wilayah Subang ditandai
dengan ditemukannya kapak perimbas (chopper)
di Pringkasap kecamatan Pabuaran.
Masa selanjutnya adalah masa bercocok
tanam yang lebih dikenal sebagai masa neolitik dan megalitik, masa ini
merupakan perkembangan kemahiran mengasah batu serta mulai dikenalnya teknik
pembuatan gerabah, temuan alat batu pada masa ini yaitu kapak persegi yang
sudah diasah secara halus, ditemukan di Desa Balingbing Kecamatan Pagaden dan
di Kecamatan Cisalak (Disparbud Provinsi Jawa Barat,
2011:137).
Masa perundagian merupakan era
kemahiran manusia purba mengolah peleburan biji logam, kemahiran ini diikuti
dengan kemahiran teknologi pencampuran, penempaan, dan teknik cetakan logam
(Herlina et al, 154). Temuan pada masa perundagian di wilayah Subang adalah
kapak corong, kapak sepatu, dan kapak candrasa di Desa Nangerang Kecamatan
Binong, selain benda-benda tersebut juga adanya temuan berupa cawan, mangkuk,
dan tutup cepuk yang terbuat dari perunggu ditemukan di pinggir aliran sungai
Cinangka Legok Kiara Batu Kapur Kecamatan Sagalaherang, kemudian ada temuan
berupa bejana perunggu yang berukuran besar yang dianggap bejana terbesar di
Indonesia, benda ini ditemukan di Kampung Tangkil Desa Cintamekar Kecamatan
Sagalaherang. Peninggalan lainnya adalah benda perhiasan manik-manik yang
ditemukan di Kampung Engkel Desa Bunihayu Kecamatan Jalancagak dan di desa
Nangerang Kecamatan Binong. Pada zaman perundagian ini manusia purba telah
memiliki keahlian untuk membuat hiasan pada peralatan yang mereka gunakan,
fungsi dari benda-benda tersebut adalah sebagai alat untuk keperluan upacara
kepada para arwah nenek moyang, fungsi lain dari benda-benda tersebut juga
sebagai lambang kekayaan atau status sosial sebagai pemimpin dari satu
keluarga.
Apabila dilakukan pengkajian masa
perundagian merupakan kelanjutan dari masa bercocok tanam, yaitu kehidupan
terpusat pada usaha menghasilkan makanan sendiri untuk kebutuhan bersama
sehingga populasi dan pemukiman semakin padat, perkampungan tempat temuan benda-benda ini, merupakan suatu
tempat dihuni oleh manusia purba berkembang menjadi desa dan desa pada umumnya
terbentuk dengan pemolaan berdasarkan sediaan alam dan lingkungan yang dipilih
(Herlina et al, 154), dapat
diinterpretasikan kemahiran manusia purba di lingkungan tersebut memiliki
kemampuan membuat peralatan sebagai perkakas dalam kehidupan atau mungkin juga benda-benda
sebagai alat perkakas berasal dari daerah lain, pembuktian arkeologis tentang
tingkat kemajuan teknologi pada masa perundagian dimiliki oleh suku Buni yang
terdapat di wilayah Bekasi, memungkinkan pergerakan benda-benda tersebut sampai
ke wilayah Subang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar